Tulisan Walter Benjamin, The Work of Art in The Age of Mechanical
Reproduction secara garis besar membahas mengenai perkembangan industri budaya dan
seni. Perubahan menurut penganut Mahzab Frankfurt ini diakibatkan kemunculan
dari teknologi, baik itu teknologi cetak maupun teknologi elektronik. Esai yang
dituliskan pada tahun 1935 merupakan bantahan argumentatif terhadap pandangan
Theodore Adorno. Dalam buku Filsafat Fragmentaris (hal.96), F. Budi Hardiman
menyebutkan bahwa Benjamin tengah berusaha merefleksikan sejarah seni secara
materialis.
Sebelumnya Karl Marx memandang kaum proletar telah menukar tenaga mereka
dengan upah. Ia mengatakan bahwa sebuah budaya bisa berfungsi sebagai ideologis.
Hal ini mengaitkan logika kapital dengan hubungan manusia yang
terkomodifikasikan. Benjamin pun berasumsi kalau apa yang diramalkan oleh Marx
tentang kehancuran kapitalisme akibat ulahnya sendiri tidaklah terbukti. Pasca
Perang Dunia, kapitalisme bermetamorfosa menjadi semakin dinamis dan kuat.
Reproduksi Mekanik masa Yunani Kuno yang dimulai dengan founding. Lalu kemudian
secara berurutan ditemukan stamping, woodcuts, print work, litografi,
fotografi, film. Namun loncatan besar terjadi di tahapan fotografi dan film
ketika di temukan di awal abad 20. Realitas kemudian dipindahkan ke dalam
sebuah gambar dengan membekukan peristiwa (potret).
Reproduksi mekanik sebuah karya seni bagi penganut paham neo-marxisme
ini merupakan sebuah proses representasi yang terus menerus diproduksi
menggunakan alat mekanik dan memastikan hadirnya dalam ruang dan waktu
tertentu. Alat menurutnya berupa mekanik sedang reproduksi mekanik merupakan
cara kerja alat itu dalam meng-ada-kan sebuah karya seni.
Awalnya kritik terhadap Adorno ditekankan pada seni yang tidak lagi
memberikan ruang berpikir kritis bagi konsumen. Menonton film akan berbeda
dengan menonton sebuah pertunjukan teater. Produksi mekanik yang dilakukan oleh
teknologi ini telah menciptakan kesan ilusi atau kenyataan yang
dimanipulasikan.
Konsepsi tentang aura menjadi poin utama dalam tulisan Benjamin. Ia
membandingkan liftografi yang menyimpan makna yang tersirat sedangkan fotografi
disebutnya membatasi pengetahuan (caption foto). Benjamin pun menambahkan
kehadiran sebuah objek yang menggantikan wujud aslinya dalam fotografi telah
memudarkan aura yang ada di objek tersebut. Menurutnya, orang lain tak lagi
melihat sebuah karya dari matanya sendiri, tapi hanya melihat representasi gambar
yang dihasilkan fotografi.
Hal tersebut juga memungkinkan perubahan fungsi yang awalnya sebagai
sarana atau medium ritual dan penyembahan yang bersifat magis dan religi
menjadi sebuah praktik yang lain yang bersifat lebih politis. Dengan fotografi
sebuah karya seni bisa direproduksi secara massif sehingga tak ada lagi
pertanyaan mengenai keaslian dari seni itu. Ini menurutnya telah menghilangkan
otentisitas dari karya seni itu sendiri. Perspektif konsumen terhadap seni kini
berubah dari sebelumnya melihat seni sebagai nilai pemujaan, lalu memandang
seni sebagai sebuah pameran atau pertunjukan nilai. Konsepsi ini disebut juga
sebagai sebuah ritual atau penyembahan
terhadap karya seni.
Namun kemudian ketika menyelidiki hal ini, dia menemukan hal berbeda dengan
adanya perkembangan fotografi. Benjamin menemukan kenyataan bahwa fotografi
telah membuka ruang privat dari karya seni itu ke ruang publik. Lukisan atau
suara dalam konser bisa direproduksi kembali sehingga bisa dilihat dan didengar
di mana saja tanpa harus mengunjungi tempatnya. Karya seni pun menjadi
terjangkau dan bisa dinikmati oleh banyak kalangan. Otentisitas bukan lagi
perdebatan yang mana asli, sebab dengan fotografi karya seni bisa dicetak
secara massif untuk massa. Dengan demikian pandangan publik juga berubah dari
yang menganggap seni itu sebuah ritual ke sesuatu yang bersifat lebih
politis.
Khairil Anwar
Komentar
Posting Komentar