Sebuah review BAB I, Pemisahan Pengetahuan dari Kepentingan dalam buku Kritik Ideologi oleh F Budi Hardiman. Bab ini menjelaskan bagaimana Pemisahan Pengetahuan dari Kepentingan itu dilakukan secara betahap.
Dimulai dari awal mula pengetahuan di masa Yunani Kuno itu belum mengenal sama sekali pemisahan antara yang teori dan praxis. Sebaliknya ada pertautan yang erat antara teori dan praxis dalam kehidupan sehari-sehari. Jadi dalam tradisi Yunani Kuno itu pengetahuan tidak dipisahkan dari kehidupan yang konkret atau dengan kata lain disebut dengan istilah Bios Theoretikos.
Bios Theoretikos ini merupan suatu bentuk kehidupan atau jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dengan tujuan untuk agar manusi mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup.
Nah kita akan lacak bagaiamana kata Teori itu mengalami pergeseran. Kata theorea itu berasal tradisi kebudayaan Yunani Kuno. Theoros adalah wakil yang dikirim oleh polis untuk kepentingan keagamaan. Dalam sebuah perayaan, theoros melakukan theorea (memandang) ke peristiwa sakral dan berpartisipasi di dalamnya. Ia mengalami namanya katharis yaitu pembebasan diri dari perasaan dan dorongan fana yang berubah-ubah. Atau bisa disebutkan bahwa teori itu mengalami kekuatan emansipatoris.
Dalam tulisan selanjutnya, saya akan paparkan lima tahapan dalam pemisahan teori dari kepentingan.
1. Lahirnya Ontologi sebagai Awal Pemisahan Pengetahuan dan Kepentingan
Munculnya pemikiran filosofis Yunani kuno menimbulkan demitologisasi pemikiran mitis. Teori dipisahkan dengan ritus keagamaan. Secara filosofis teori diartikan sebagai komtemplasi atas kosmos. Filsuf memandang alam semesta dan menemukan suatu tertib yang tidak berubah-ubah yang disebut macrocosmos. Mereka sadar ada gerak alamiah dan nada harmonis yanng sama dengan dirinya sendiri. Hal ini diwujudkan dalam tingkah laku atau disebut sebagai mimesis (meniru).
Bersamaan munculna filsafat yunani, teori dipisahkan dengan praxis. Filsafat menarik garis batas antara ADA dan WAKTU, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Dari sinilah muncul otologi.
Akhirnya, disusunlah konsep tentang ke-APA-an (hakikat) benda-benda. Hakikat yang dimaksud adalah inti kenyataan yang tak berubah-ubah/tetap. Jadi dalam perumusan pengetahuan sejati ini, teori dijauhkan dari perasaan subjektif manusia. Mengambil jarak dan membersihkan pengetahuan dari dorongan empiris disebut sikap teoretis murni. Dengan begini kontemplasi atas kosmos menjadi kontempelasi yang bebas kepentingan.
Munculnya ontologi mengikis habis bios theorretikos karena teori tidak lagi banyak terlibat dalam kehidupan sehari-hari, justru menarik diri dari kehidupan praksis manusia.
2. Pemurnian Pengetahuan dari Kepentingan dalam Filsafat Modern
Dua jalur pembersihan teori dari kepentingan. Pertama, filsuf yang mengutamakan rasio manusia yang beranggapan bahwa pengetahuan murni dapat diperolah melalui rasio manusia sendiri. Pemikir utamanya yaitu Plato. Ia menekankan peranan intuisi. Katanya pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang tidak berubah-ubah, yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada manusia itu sendiri. Jadi manusia tugasnya hanya mengingat kembali apa yang terdapat secara apriori dalam rasionya, yaitu idea-idea. Jadi kita harus senantiasa membersihkan pengtahuannya dari yang berubah-ubah agar bisa menembus hakikat kenyataan atau idea-idea.
Yang kedua yaitu filsuf yang mementingkan peranan pengalaman empiris mengatakan pengetahuan murni hanya bisa diperoleh dari pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan. Pemikirnya yaitu Aristoteles. Ia lebih mengutamakan abstraksi dimana pengetahuan dianggap sebagai hasil pengamatan empiris. Pengetahuan dianggap bersifat aposteorori. Jadi manusia harus mengamati unsur yang berubah-ubah lalu melakukann abstraksi sehingga dari partikular-partikular diperoleh yang universal.
Dalam filsafat modern turunannya dikenal sebagai rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme memandang teori dapat dihasilkan dari pengetahuan apriori dalam bentuk pernyataan logis dan matematis. Sedang empirisme memandang teori ilmiah dapat diperoleh melalui evindensi pengamatan inderawi, aposteriori.
3. Ilmu Pengetahuan dan Puncak Pemurnian Pengetahuan dalam Positivisme
Pengetahuan empiris-analitis menjadi ilmu-ilmu alam direfleksikan sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Ilmu-ilmu alam dianggap merupakan kelanjutan riwayat ontologi dimana deskripsi tentang hukum alam menggantikan deskripsi ada dalam ontologi.
Dalam perkembangan filsafat dikenallah positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte. Positivisme adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Positivisme berusaha lepas dari ontologi dengan menyingkirkan pengetahuan yang melampuai fakta.
Positivisme kemudian melahirkan sosiologi. Comte melihat ini sebagai puncak dari perkembangan positivisme. Pada dasarnya ilmu ini tidak ada hubungannya dengan ontologi maupun ilmu alam. Ilmu sosial atau ilmu historis hermeneutis menyoroti bidang intersubjektif yang berubah-ubah. Interaksi antar manusi bukalah fakta mati tapi hanya pendapat. Yang ingin dicapai adalah pemahaman timbal balik. Namun karena mengklaim sebagai ilmu yang ilmiah yang bersandar pada model teori ilmu alam, maka ilmu sosial menjadi positivistik.
Ada tiga pengandaian yang dianut dalam sikap positivistik itu. Pertama, prosedur metodelogis ilmu alam dapat diterapkan langsung di ilmu sosial. Kedua, hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum. Ketiga, ilmu sosial harus bersifat teknis.
Bahasa dalam ilmu pengetahuan merupakan bahasa positivistik yaitu klaim atas fakta objektif. Di luar dari itu dianggap nonsense, misalnya moral, estetis dan ontologi karena tidak dapat diverifikasi. Pandangan ini menghancurkan konsep teori sebagai bios theoretikos. Positivisme membangun separasi dan segregasi yang tebal di antara pengetahuan dan kehidupan praktis.
Habermas mengatakan saintisme adalah science's belief in itself, ilmu pengetahuan bukan lagi sebagai salah satu bentuk pengetahuan tapi menyamakan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan.
4. Methodenstreit dalam Ilmu-ilmu Sosial di Jerman
Methodenstreit yaitu perdebatan tentang metode. Terjadi di Jerman saat perkembangan kesadaran positivistik di mana membebaskan metodelogi ilmu sosial dari metodelogi ilmu alam dengan memberi pendasaran metodelogis yang baru pada ilmu sosial.
Dimulai pada ilmu ekonomi. Schmoller dan C. Menger mendebatkan apa ekonomi harus bekerja menurut metode eksakta atau historis, metode deduktif atau induktif, metode absrak atau empiris. Menger pun membuat distinsi atas hal itu yaitu pemahaman historis dan teoritis. Historis diperoleh jika kita meniliti gejala proses perkembangan yang bersifat individual dan konkret sedangkan teoritis jika mengenali suatu gejala sebagai suatu keteraturan atau seri gejala yang teratur.
Dari aliran neo-kantianiesme, Wildelband membedakan nemothetic sciences dari ideographic scienses. Ilmu alam menyelidiki gejala pengalaman yanng dapat diulangi terus menerus sehingga menghasilkan hukum maka disebut nomtetis. Sedang ilmu budaya/sosial meneliti peristiwa individual yang unik karena sekali terjadi maka disebut ideografis. Keduanya tidak dapat direduksi. Dilthey memperdalam pandangan ini dengan menyebutkan faktor pembedanya terletak pada wertbeziehung (relevansi nilai). Ilmu budaya menghasilkan nilai sedang ilmu alam menghasilkan hukum sehingga tidak memiliki relevansi nilai.
Karena tak kunjung menemukan jalan keluar akan masalah pemisahan metodelogi ilmu sosial dan alam, masuklah pemikiriran mahzab frankfurt yaitu teori kritik masyarakat. Meski kemudian perdebatan panjanga antara positivismusstreit dan mahzab frankfurt tidak menemukan titik temu namun keduanya menawarkan pendasaran epistemologis dan metodologis bagi ilmu sosial.
5. Teori Kritis sebagai Usaha Mengaitkan Teori dan Praxis
Menurut Habermas, teori kritis bukanlah suatu teori yang ilmiah. Habermas melukiskan teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Pada ketegangan inilah teori kritis tidak berhenti hanya pada fakta objektif seperti teori positivistik. Teori ini menembus batas realitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris.
Namun demikian, teori kritis juga tidak meninggalkan data yang diberikan pengalaman konterkstual dan tetap bersifat historis. Sehingga teori kritis tidak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis bisa dikatakan sebagai dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan empiris.
Dialektis memungkinkan teori kritis melakukan dua macam kritik. Transendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek dan di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi sosiohistoris yang dalam konteks tertentu bisa memengaruhi manusia. Atau dengan kata lain, teori kritis disebut juga sebagai ideologiekritik, refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila jatuh pada salah satu kutub, transendental atau empiris.
Teori kritis sebagai kritik bertugas untuk membuka "topeng" ideologis dari positivisme. Positivisme bukan hanya berhubungan dengan pengetahuan tapi lebih dari itu merupakan "cara berpikir" yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri maju.
Teori kritis mengarahkan diri pada dua taraf secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, berusaha mengatasi saintinisme dan positivisme. Pada taraf teori sosial, berusaha membidik segala bentuk penindasan yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.
Terdapat banyak variasi dalam teori kritis menurut pemikirnya. Namun secara khusus, pada tulisan ini mengulas pemikiran Habermas. Ia berusaha memperbaharui teori kritis mahzab frankfurt yang menemui jalan buntu.
Menurutnya perubahan itu tikda bisa dipakasakan secara radilkan atau revolusioner dengan "jalan kekerasan", juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan melalui kekerasan hanya akan mengganti penindas lama dengan penindas baru seperti rezim Stallin. Tapi juga masyarakat tidak akan berubah jika mereka menunggu datangnya perubahan.
Lewat gagasan orisinilnya, Habermas mengatakan transformasi sosial perlu diperjuangkan melalui dialog emansipatoris. Hanya melalui "jalan komunikasi" dan bukann melalui "jalan dominasi". Inilah hal yang diutopikan agar terwujudnya masyarakat yang berinteraksi dalam suasana "komunikasi bebas dari penguasaan".
Pembangunan telah menunjukkan kontradiksi yang disebabkan perubahan sosial kultural, kemajuan dan ketimpangan. Ketidakadilan sosial bukan hanya fakta yang sedang diperbaiki tapi juga keadaaan yang disamarkan dan dilestarikan. Situasi ini tidak cukup jika dilakukan dengan penanganan teknis-praktis saja, tetapi juga teoritis yang bersifat kritis untuk mencabik topeng ideologis yang menutupi pengetahuan masyarakat akan realitas sosialnya.
Dimulai dari awal mula pengetahuan di masa Yunani Kuno itu belum mengenal sama sekali pemisahan antara yang teori dan praxis. Sebaliknya ada pertautan yang erat antara teori dan praxis dalam kehidupan sehari-sehari. Jadi dalam tradisi Yunani Kuno itu pengetahuan tidak dipisahkan dari kehidupan yang konkret atau dengan kata lain disebut dengan istilah Bios Theoretikos.
Bios Theoretikos ini merupan suatu bentuk kehidupan atau jalan untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dengan tujuan untuk agar manusi mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup.
Nah kita akan lacak bagaiamana kata Teori itu mengalami pergeseran. Kata theorea itu berasal tradisi kebudayaan Yunani Kuno. Theoros adalah wakil yang dikirim oleh polis untuk kepentingan keagamaan. Dalam sebuah perayaan, theoros melakukan theorea (memandang) ke peristiwa sakral dan berpartisipasi di dalamnya. Ia mengalami namanya katharis yaitu pembebasan diri dari perasaan dan dorongan fana yang berubah-ubah. Atau bisa disebutkan bahwa teori itu mengalami kekuatan emansipatoris.
Dalam tulisan selanjutnya, saya akan paparkan lima tahapan dalam pemisahan teori dari kepentingan.
1. Lahirnya Ontologi sebagai Awal Pemisahan Pengetahuan dan Kepentingan
Munculnya pemikiran filosofis Yunani kuno menimbulkan demitologisasi pemikiran mitis. Teori dipisahkan dengan ritus keagamaan. Secara filosofis teori diartikan sebagai komtemplasi atas kosmos. Filsuf memandang alam semesta dan menemukan suatu tertib yang tidak berubah-ubah yang disebut macrocosmos. Mereka sadar ada gerak alamiah dan nada harmonis yanng sama dengan dirinya sendiri. Hal ini diwujudkan dalam tingkah laku atau disebut sebagai mimesis (meniru).
Bersamaan munculna filsafat yunani, teori dipisahkan dengan praxis. Filsafat menarik garis batas antara ADA dan WAKTU, yaitu antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Dari sinilah muncul otologi.
Akhirnya, disusunlah konsep tentang ke-APA-an (hakikat) benda-benda. Hakikat yang dimaksud adalah inti kenyataan yang tak berubah-ubah/tetap. Jadi dalam perumusan pengetahuan sejati ini, teori dijauhkan dari perasaan subjektif manusia. Mengambil jarak dan membersihkan pengetahuan dari dorongan empiris disebut sikap teoretis murni. Dengan begini kontemplasi atas kosmos menjadi kontempelasi yang bebas kepentingan.
Munculnya ontologi mengikis habis bios theorretikos karena teori tidak lagi banyak terlibat dalam kehidupan sehari-hari, justru menarik diri dari kehidupan praksis manusia.
2. Pemurnian Pengetahuan dari Kepentingan dalam Filsafat Modern
Dua jalur pembersihan teori dari kepentingan. Pertama, filsuf yang mengutamakan rasio manusia yang beranggapan bahwa pengetahuan murni dapat diperolah melalui rasio manusia sendiri. Pemikir utamanya yaitu Plato. Ia menekankan peranan intuisi. Katanya pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal yang tidak berubah-ubah, yaitu pengetahuan yang menangkap idea-idea. Pengetahuan manusia bersifat apriori, sudah melekat pada manusia itu sendiri. Jadi manusia tugasnya hanya mengingat kembali apa yang terdapat secara apriori dalam rasionya, yaitu idea-idea. Jadi kita harus senantiasa membersihkan pengtahuannya dari yang berubah-ubah agar bisa menembus hakikat kenyataan atau idea-idea.
Yang kedua yaitu filsuf yang mementingkan peranan pengalaman empiris mengatakan pengetahuan murni hanya bisa diperoleh dari pengamatan empiris terhadap objek pengetahuan. Pemikirnya yaitu Aristoteles. Ia lebih mengutamakan abstraksi dimana pengetahuan dianggap sebagai hasil pengamatan empiris. Pengetahuan dianggap bersifat aposteorori. Jadi manusia harus mengamati unsur yang berubah-ubah lalu melakukann abstraksi sehingga dari partikular-partikular diperoleh yang universal.
Dalam filsafat modern turunannya dikenal sebagai rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme memandang teori dapat dihasilkan dari pengetahuan apriori dalam bentuk pernyataan logis dan matematis. Sedang empirisme memandang teori ilmiah dapat diperoleh melalui evindensi pengamatan inderawi, aposteriori.
3. Ilmu Pengetahuan dan Puncak Pemurnian Pengetahuan dalam Positivisme
Pengetahuan empiris-analitis menjadi ilmu-ilmu alam direfleksikan sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Ilmu-ilmu alam dianggap merupakan kelanjutan riwayat ontologi dimana deskripsi tentang hukum alam menggantikan deskripsi ada dalam ontologi.
Dalam perkembangan filsafat dikenallah positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte. Positivisme adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Positivisme berusaha lepas dari ontologi dengan menyingkirkan pengetahuan yang melampuai fakta.
Positivisme kemudian melahirkan sosiologi. Comte melihat ini sebagai puncak dari perkembangan positivisme. Pada dasarnya ilmu ini tidak ada hubungannya dengan ontologi maupun ilmu alam. Ilmu sosial atau ilmu historis hermeneutis menyoroti bidang intersubjektif yang berubah-ubah. Interaksi antar manusi bukalah fakta mati tapi hanya pendapat. Yang ingin dicapai adalah pemahaman timbal balik. Namun karena mengklaim sebagai ilmu yang ilmiah yang bersandar pada model teori ilmu alam, maka ilmu sosial menjadi positivistik.
Ada tiga pengandaian yang dianut dalam sikap positivistik itu. Pertama, prosedur metodelogis ilmu alam dapat diterapkan langsung di ilmu sosial. Kedua, hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum. Ketiga, ilmu sosial harus bersifat teknis.
Bahasa dalam ilmu pengetahuan merupakan bahasa positivistik yaitu klaim atas fakta objektif. Di luar dari itu dianggap nonsense, misalnya moral, estetis dan ontologi karena tidak dapat diverifikasi. Pandangan ini menghancurkan konsep teori sebagai bios theoretikos. Positivisme membangun separasi dan segregasi yang tebal di antara pengetahuan dan kehidupan praktis.
Habermas mengatakan saintisme adalah science's belief in itself, ilmu pengetahuan bukan lagi sebagai salah satu bentuk pengetahuan tapi menyamakan pengetahuan dengan ilmu pengetahuan.
4. Methodenstreit dalam Ilmu-ilmu Sosial di Jerman
Methodenstreit yaitu perdebatan tentang metode. Terjadi di Jerman saat perkembangan kesadaran positivistik di mana membebaskan metodelogi ilmu sosial dari metodelogi ilmu alam dengan memberi pendasaran metodelogis yang baru pada ilmu sosial.
Dimulai pada ilmu ekonomi. Schmoller dan C. Menger mendebatkan apa ekonomi harus bekerja menurut metode eksakta atau historis, metode deduktif atau induktif, metode absrak atau empiris. Menger pun membuat distinsi atas hal itu yaitu pemahaman historis dan teoritis. Historis diperoleh jika kita meniliti gejala proses perkembangan yang bersifat individual dan konkret sedangkan teoritis jika mengenali suatu gejala sebagai suatu keteraturan atau seri gejala yang teratur.
Dari aliran neo-kantianiesme, Wildelband membedakan nemothetic sciences dari ideographic scienses. Ilmu alam menyelidiki gejala pengalaman yanng dapat diulangi terus menerus sehingga menghasilkan hukum maka disebut nomtetis. Sedang ilmu budaya/sosial meneliti peristiwa individual yang unik karena sekali terjadi maka disebut ideografis. Keduanya tidak dapat direduksi. Dilthey memperdalam pandangan ini dengan menyebutkan faktor pembedanya terletak pada wertbeziehung (relevansi nilai). Ilmu budaya menghasilkan nilai sedang ilmu alam menghasilkan hukum sehingga tidak memiliki relevansi nilai.
Karena tak kunjung menemukan jalan keluar akan masalah pemisahan metodelogi ilmu sosial dan alam, masuklah pemikiriran mahzab frankfurt yaitu teori kritik masyarakat. Meski kemudian perdebatan panjanga antara positivismusstreit dan mahzab frankfurt tidak menemukan titik temu namun keduanya menawarkan pendasaran epistemologis dan metodologis bagi ilmu sosial.
5. Teori Kritis sebagai Usaha Mengaitkan Teori dan Praxis
Menurut Habermas, teori kritis bukanlah suatu teori yang ilmiah. Habermas melukiskan teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Pada ketegangan inilah teori kritis tidak berhenti hanya pada fakta objektif seperti teori positivistik. Teori ini menembus batas realitas sosial sebagai fakta sosiologis untuk menemukan kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris.
Namun demikian, teori kritis juga tidak meninggalkan data yang diberikan pengalaman konterkstual dan tetap bersifat historis. Sehingga teori kritis tidak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori kritis bisa dikatakan sebagai dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan empiris.
Dialektis memungkinkan teori kritis melakukan dua macam kritik. Transendental dengan menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek dan di lain pihak melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi sosiohistoris yang dalam konteks tertentu bisa memengaruhi manusia. Atau dengan kata lain, teori kritis disebut juga sebagai ideologiekritik, refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila jatuh pada salah satu kutub, transendental atau empiris.
Teori kritis sebagai kritik bertugas untuk membuka "topeng" ideologis dari positivisme. Positivisme bukan hanya berhubungan dengan pengetahuan tapi lebih dari itu merupakan "cara berpikir" yang menjangkiti kesadaran masyarakat industri maju.
Teori kritis mengarahkan diri pada dua taraf secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, berusaha mengatasi saintinisme dan positivisme. Pada taraf teori sosial, berusaha membidik segala bentuk penindasan yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.
Terdapat banyak variasi dalam teori kritis menurut pemikirnya. Namun secara khusus, pada tulisan ini mengulas pemikiran Habermas. Ia berusaha memperbaharui teori kritis mahzab frankfurt yang menemui jalan buntu.
Menurutnya perubahan itu tikda bisa dipakasakan secara radilkan atau revolusioner dengan "jalan kekerasan", juga tak dapat dipastikan datangnya seperti gerhana matahari. Memaksakan perubahan melalui kekerasan hanya akan mengganti penindas lama dengan penindas baru seperti rezim Stallin. Tapi juga masyarakat tidak akan berubah jika mereka menunggu datangnya perubahan.
Lewat gagasan orisinilnya, Habermas mengatakan transformasi sosial perlu diperjuangkan melalui dialog emansipatoris. Hanya melalui "jalan komunikasi" dan bukann melalui "jalan dominasi". Inilah hal yang diutopikan agar terwujudnya masyarakat yang berinteraksi dalam suasana "komunikasi bebas dari penguasaan".
Pembangunan telah menunjukkan kontradiksi yang disebabkan perubahan sosial kultural, kemajuan dan ketimpangan. Ketidakadilan sosial bukan hanya fakta yang sedang diperbaiki tapi juga keadaaan yang disamarkan dan dilestarikan. Situasi ini tidak cukup jika dilakukan dengan penanganan teknis-praktis saja, tetapi juga teoritis yang bersifat kritis untuk mencabik topeng ideologis yang menutupi pengetahuan masyarakat akan realitas sosialnya.
Komentar
Posting Komentar