Asumsi pertama kajian budaya melihat kebudayaan sebagai praktik pemaknaan. Budaya didefinisikan sebagai sebuah komunitas makna. Berbagai norma, ide dan nilai serta bentuk-bentuk pemahaman di masyarakat yang membantu orang untuk menginterpretasikan realitas mereka adalah bagian dari ideologi sebuah budaya. Maka, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sebuah ide.
Berdasarkan penjelasan Paula Saukko dalam bukunya Doing Research in Cultural Studies (2003), cara untuk memperoleh pengetahuan yang valid ialah dengan menerapkan metodologi kajian budaya yang tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Dan menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis yakni postmodern excess (Baudrillard), genealogical historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida).
Dalam bukunya, truthfulness digambarkan dengan paradigm ontology, epistemology, metapora, dan tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue. Sedangkan, self reflexivity dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan kepentingan, pola kekuasaan, serta konteks sosial dan sejarahnya.
Sementara itu, polivocality, menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan mendukung satu sama lain.
Sejak awal kemunculannya, ketiga metodologi kajian budaya ini sudah dipertanyakan dan diberi berbagai tekanan. Salah satunya harus berhadapan dengan kontradiksi yang ada, bersama-sama membawa bersama keinginan fenomenologi atau hermeutik untuk memahami dunia kreatif seseorang atau sekelompok orang dan lebih jauh lagi, menganalisis kepentingan strukturalis kritis dalam linguistik yang memandu persepsi dan pemahaman orang-orang.
Jalur penyelidikan baru-baru ini muncul dari situasi historis yang sama yang ditandai dengan situasi keambiguan yang lebih besar. Mereka menghadapi tekanan dari satu dan lainnya dengan cara yang sama antara ketiga metodologi itu seperti halnya pada situasi sebelumnya. Pencarian etnografi yang baru yang menjadikan realitas hidup orang lain sesuai dengan kenyataan, bertentangan dengan poststrukturalis yang bertujuan untuk menganalisis wacana secara kritis yang membentuk hal-hal yang sangat luar biasa yang membentuk pengalaman kita.
Untuk memahami kerumitan yang ‘sebenarnya’ pun tidak dapat dilihat dengan mudah dengan kombinasi etnografi baru dan poststrukturalis yang mendesak bahwa ada banyak realitas.
Dalam penelitian positivistik pada gagasan klasik menggambarkan bahwa kebenaran itu bersifat universal yang berlaku untuk semua. Salah satu kriterianya yaitu reliability (dapat dipercaya). Namun ternyata dengan menggunakan kriteria tersebut ditemukan kejanggalan, di mana peneliti yang berbeda bisa menemukan hasil yang sama, bahkan sama persis.
Kriteria berikutnya yaitu netral, yang menempatkan peneliti berada di luar atau bukan bagian dari objek penelitiannya. Padahal, peneliti tersebut pasti berada dalam hubungan sosial dan terikat dengan masyarakat, baik dari aspek sejarah, sosial, lingkungan politik maupun teoritikal. Begitu pun dari segi bahasa yang tidak mungkin peneliti menggunakan bahasa yang netral. Pasalnya, semua bahasa membawa unsur sosial dan kultural dan tidak pernah bisa menjadi medium yang transparan dalam mendeskripsikan realitas sebagaimana adanya. Selalu ada subjektifitas berlaku di dalamnya.
Selanjutnya, gagasan alternative validitas terdiri dari:
· Dialogic validity
Evaluasi penelitian dalam hal sebaik apa hal itu mengelola penangkapan realitas hidup orang lain.
· Deconstructive validity
Sebaik apa hal ini membongkar permasalahan wacana sosial yang menengahi cara kita memandang realitas dan orang lain.
· Contextual validity
Sebaik apa hal ini memahami konteks sosial, ekonomi, dan politik dan hubungannya dengan fenomena yang dipelajari.
Ada tiga kriteria spesifik untuk penelitian yang ‘baik’ dan valid:
· Truthfullness
Penelitian harus memperjuangkan perspektif orang yang sedang diteliti, sehingga mereka bisa menyetujuinya. Hal ini perlu membentuk penelitian kolaborasi, contohnya pengukuran untuk memungkinkan orang dipelajari, seperti Samoan, yang diberi kesempatan untuk berbicara di saat ia dipelajari dan direpresentasikan.
· Self-reflexivity/ refleksifitas diri
Para peneliti seharusnya menjadi cerminan mengenai personal, sosial, dan paradigma wacana yang memandu mereka mengetahui realitas dan orang lain. Hal ini mengharuskan peneliti untuk lebih peka terhadap bagasi budaya, seperti gagasan ‘primitif’, yang menengahi pemahaman mereka terhadap dunia yang berbeda.
· Polivocality
Para peneliti harus meneliti tidak hanya satu realitas hidup tapi banyak realitas hidup. Ini berarti, mereka harus memastikan mereka memasukkan suara atau pandangan para pemangku kepentingan utama (major stakeholders), seperti remaja perempuan sebagaimana tetua desa, mencoba untuk membenarkan keberagaman mereka sebagaimana hubungan dan ketegangan diantara mereka.
Berikut adalah beberapa metodologi yang dikatakan oleh Saukko dalam bukunya. Dalam cara tradisional, tujuan menggunakan triangulasi ialah untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat mengenai realitas sosial. Tetapi, dalam praktiknya, penggunaan triangulasi dengan menggabungkan ketiga validitas dan metodologi yang mana mereka tidak dapat koheren untuk menggambarkan realitas secara akurat sebagaimana mereka menggali perbedaaan antara realitas semu atau realitas-realitas lain yang berbeda.
Paradigma Prisms memahami bahwa dalam realitas ada banyak kebenaran, bahkan tak terhingga. Akan tetapi, melalui gagasan prisms, kebenaran menjadi sulit untuk disimpulkan. Pasalnya, banyaknya realitas tersebut membuat gagasan prisms sendiri kesulitan untuk membayangkan politik di dalamnya yang akan mengubah realitas bersama.
Selain itu, gagasan prisms juga tidak terlalu cocok menggunakan validitas kontekstual. Jika salah satu memikirkan suatu konteks dengan tema global misalnya, atau struktur ekonomi, orang lainnya akan memiliki pandangan yang berbeda yang memungkinkan perbedaan perspektif pula. Prism juga tidak cocok untuk menganalisis sesuatu, contohnya perkembangan efek ekonomi. Dengan demikian, hal ini tidak sesuai untuk menjadi pendorong perubahan inisiatif secara bersama terkait politik dan kebijakan-kebijakan.
Kesulitan dalam mencapai sebuah kebenaran dari paradigm postivistik dan prism karena mereka sulit menggambarkan apa yang ada di dalam ide lalu mengubahnya dalam bentuk materi/realitas secara bersama. Sehingga material paradigma material semiotic persepective mengambil jalan tengah dengan menggunakan simbol dan materi yang ada. Paradigma ini tidak memandang sesuatu menjadi kaku, namun demikian hal ini juga bisa dikatakan sebagai sebuah kelemahan karena menaruh jarak dengan kebenaran/objek penelitian yang sebenarnya sebab paradigm ini meyakini ada banyak kebenaran yang bisa tercipta. Hasil dari pengetahuan dianggapnya bukanlah sesuatu yang objektif tapi partial sesuai dengan subjektivitas masing-masing atau berdasarkan situasi tertentu. Perspektif subjetivitas diterjemahkan menjadi sebuah kebenaran objektif tanpa mengindahkan realitas objek itu sendiri.
Dengan membuat perspektif metodologis dan politik yang berbeda berdialog satu sama lain ketika mengolah penelitian dan politik multidimensi, akan membuat peneliti mampu memperhatikan kompleksitas fenomena sosial. Strategi ini digunakan bukan untuk menghasilkan pencerahan atau enlightment view, atau pengetahuan yang memiliki berbagai pandangan. Sebaliknya, penelitian multiperspectival ini bertujuan untuk memiliki perspektif yang berbeda dalam ketegangan kreatif satu sama lain. Dialog semacam ini, dapat mengolah penelitian dan politik yang dapat menghargai multidimensionalitas masalah sosial dan tidak menggunakan satu dimensi penilaian.
Langkah pertama yang harus dilakukan ialah mengganti posisi pandangan terhadap metodologi yang tadinya dari ‘vision’ atau penglihatan menjadi suara atau perbincangan. Metafora suara atau percakapan memandang realitas yang berbeda dengan lebih berpori atau interaktif. Selain itu gagasan tentang suara juga membayangkan realitas dan metodologi yang berbeda dalam hal soundscapes yang masing-masing memiliki akord mereka, tapi juga beresonansi dan berinteraksi satu sama lain. Begitu pula pada permasalahan sexuality, budaya, politik, dan wacana medis yang juga saling berinteraksi dengan cara yang berbeda, seperti secara ilmiah, sosioekonomi, dan rezim politik global.
Dengan demikian, pendekatan berbasis suara yang menggabungkan metodologi dan keabsahan masing-masing, memungkinkan strategi penelitian multidimensional, yang keduanya saling menghormati perbedaan spesifitas berbagai mode penyelidikan/realitas dan mode yang berbeda pada kesatuan dan persimpangan yang mengikat berbagai metodologi dan realitas bersama.
Sebuah catatan tugas kuliah untuk Mata Kuliah Metodologi Ilmu-Ilmu Sosial
oleh: Selly Astari Oktaviani dan Khairil Anwar
Komentar
Posting Komentar